🌲🏕️🌲

sejenak berpaling dari lelahnya hari

Simalakama

24 November 2025

Ever known a narcissist?

They will verbally and emotionally abuse you, using put downs, criticism, and insults.

Then when you stand up for yourself, they come unglued and say you are the toxic one.

Obatnya sederhana: yang waras ngalah dengan cara ngalih.

Jarak yang timbul ditambah waktu yang berjalan dengan sendirinya akan mengobati luka sekaligus menjaga agar kejadian tersebut tersebut tidak terulang.

Namun bagaimana bila sifat tersebut ada di orang tersayang dari orang yang kita sayangi?

Sepertinya tidak mungkin jurus jaga jarak tadi diaplikasikan disini.

Terlalu lama menjauh, maka akan terasa hawa perang dingin. Not really my style 😅

Terlalu dipaksa berdekatan, kitanya juga yang repot karena kebagian ngempet-nya.

Sedikit demi sedikit ngempet, lama-lama ya datang saatnya luber juga.

Saat kita luber, biasanya orang-orang tersebut kaget dengan luberan air ini.

“Kok kamu tega gini sama aku?”, ucapan umum yang menyertai sakit hati mereka. Lebih beratnya lagi, tidak hanya orang tersebut yang sakit tapi orang-orang terdekatnya ikut sakit, yang mana orang-orang ini mungkin orang yang kita sayangi juga.

Jadi merasa bersalah deh udah luber.

Tapi kenapa ya, kok bisa-bisanya kita yang jadi dicap salah hanya karena meluapkan isi hati kita, sekedar mau bilang kalau “aku sakit lho” 😅

Pada hubungan sosial yang sehat, bukankah hal tersebut justru berharga ya? Menandakan bahwa muncul kesempatan kedua belah pihak untuk berubah menjadi lebih baik.

Yang sakit agar bisa lebih belajar untuk lebih tidak gampang sakit, melebarkan mangkoknya agar tidak sering luber lagi.

Yang menyakiti agar bisa paham kalau suka tidak suka, apapun status diantara mereka, perbuatannya telah menyakiti lawannya.

Aku kira ucapan maaf dariku padanya tidak terlalu penting, karena di level ini “maaf” tidak bernilai lebih dari sekedar ritual saja. Kalau belum dimintakan maaf, rutinitas belum akan kembali seperti semula. Sementara dengan mudah aku bilang maaf 10x, ditambah cium kaki + jempol misalnya. Tapi ya sekedar sampai disitu saja, tidak ada perbaikan.

Tidak selalu ada jendela yang bisa kita manfaatkan untuk menyampaikan saran-saran perbaikan pada orang tersebut. Misalnya, mungkin karena perbedaan umur atau status sosial yang jauh, membuat seolah tabu kalau “yang rendah menasehati yang lebih tinggi”. Seakan seperti lumrahnya orang yang lebih rendah ya harus memendam perasaan seperti ini. Tidak boleh terlihat sedikitpun, apalagi luber. Sedangkan lumrahnya orang yang lebih tinggi ya almighty, bulan bintang berputar berpusat padanya.

Aku meyakini kalau cinta/kehormatan didapat bukan karena paksaan, melainkan dari saling terbuka dan mengasihi. Dengan sendirinya ia akan muncul pada hubungan yang sehat.

Selama kedua belah pihak belum memahami sebab kejadian dan mau untuk berbenah, maka luber ini pasti akan terjadi lagi di waktu mendatang. Tinggal tunggu waktu aja. Mungkin 3 minggu lagi, 3 bulan lagi, 3 tahun lagi.

Saat terjadi lagi, ritualnya ya sama: maaf.

Menurutku semua manusia berhak untuk sakit hati, tidak hanya orang dengan status tertentu saja. Manusia juga berhak untuk mengungkapkan rasa sakit hatinya tanpa dicap salah.

Kalau berani menyakiti, ya jangan kaget kalau yang disakiti bilang sakit. Kalau tidak mau basah kena luberan orang lain, ya jangan buat orang lain luber. Kalau kedua opsi di atas tidak mampu, entah karena keterbatasan atau sesuatu yang sengaja dibuat sebagai keterbatasan, bukankah alangkah baiknya diam?

Lihatlah orang yang diuji dengan kondisi bisu. Ia tidak bisa bernyanyi, namun at least lisannya tidak menyakiti orang lain. Bahkan orang bisu jauh lebih mulia dari sudut pandang penilaianku dibanding orang yang lisannya suka menyakiti.

Thanks for reminding me why I don’t feel guilty that I can’t stand you.

simalakama
🏕️ Kembali ke tenda